Tatap Tulisan Kami! Eh baca aja deng.

Assalamualaikum~
Btw itu cara baca judulnya pake gaya-gaya Deddy Corbuzier ya. Kalo mau pake gaya-gaya Ojan Sketsa juga boleh sih. Okesip.

Asik gua ngepost lagi! Selametin dong selametin!

Selamat ngepost lagi! Selamat ngepost lagi! Selamat hari ngepost lagi! Selamat ngepost lagi! 
*dinyanyikan dengan nada lagu ulang tahun pada ketukan 3/4 di kunci C*



Oke cukup.

Yak berhubungan dengan post kemaren dimana gua malah menyelewengkan waktu di warnet yang sangat berharga (kira-kira harganya Rp. 3000 sejam tapi karena gua pake paket harganya jadi Rp. 5000 per 2 jam) dan harusnya ngetik karangan dengan syarat sudut pandang orang pertama A.K.A "aku" buat tugas Bahasa Indonesia gua tapi waktu yang berharga itu (harganya sama kaya yang di atas) malah gua pake buat ngepost di blog. Karena sekarang gua udah dibeliin pulsa modem ama emak, jadi sekarang pukul 19.37 di permulaan bulan Maret gua lagi ngetik postingan ini di ruang tamu rumah gua *asik hore kagak jadi anak warnet lagi*. Sebenernya besok ulangan MTK bab limitaikucingdisambelin, tapi gua malah ngepost. Jadi jangan ditiru ya adek-adek, blog ini adalah blog anak baik-baik, inget :). Yoweslah, nggak usah basa-basi lagi nanti keburu basi beneran.

Cukup sediakan waktu anda sebentar tapi lama sih kayaknya untuk menikmati tulisan dua orang yang sangat berbeda ini (kalo diliat dari tulisannya sih gitu). Selamat menikmateh! :)





Nama : Ilman N.W (20)
Kelas  : XI IPA 2
“Abstrak”
Minggu siang yang membosankan. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Keluargaku sedang berkunjung ke rumah nenek, tinggalah aku di rumah sendiri. Di jam-jam begini siaran televisi memang tidak ada yang seru, kartun minggu pagi sudah habis dan sekarang waktunya tante Feni Rose bergentayangan menawarkan apartemen. Ingin rasanya bermain di luar, tetapi cuaca sangat panas
“Kurasa matahari sedang demam” kataku
Lalu kucoba menengok ke arah matahari, tetapi sinarnya terlalu menyilaukan. Matahari itu seakan berkata dengan angkuhnya
“Rasakan panas tubuhku ini wahai manusia! Aku sedang demam!”
Ternyata benar matahari sedang demam. Lalu aku memutuskan untuk guling-gulingan di kasurku. Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi. Benar saja, ternyata aku mules. Hasil pencernaanku meronta-ronta ingin dikeluarkan. Tiba-tiba aku teringat akan kata-kata guru biologiku
“Kenapa kita bisa mules? Itu karena kita memakan makanan yang pedas atau asam”
Aku langsung mengingat-ingat makanan apa saja yang telah kumakan. Yang kuingat, aku hanya memakan nasi uduk dengan bakwan dan sambal basi. Lalu aku berpikir
“sambel kan pedes, basi kan asem, kalo sambel basi berarti pedes sekaligus asem dong”
Setelah itu aku mencoba untuk menarik kesimpulan dari hasil pemikiranku barusan, ternyata aku mules. Aku langsung menyusun rencana untuk memusnahkan rasa mules ini, tapi tiba-tiba rasa bosan menghadang. Mendadak aku bosan buang air besar di toilet rumahku. Ingin rasanya buang air besar di tempat yang penuh dengan petualangan.
“Ah, ada satu tempat!” kataku
Pikiranku tertuju pada jamban usang di pinggir kali kampung seberang
“Oke, begini rencananya, pertama-tama aku harus keluar dari kamar ini, perkiraan waktu 30 detik. Lalu aku harus keluar dari rumah ini, perkiraan waktu satu menit. Setelah itu aku harus keluar dari kampung ini, perkiraan waktu 10 menit dengan berjalan, 5 menit dengan berlari dan satu jam dengan mengesot. Aku memilih untuk naik motor. Setelah sampai di tempat kejadian perkara, aku parkirkan motorku di parkiran basement, perkiraan waktu 5 menit. Lalu aku harus memilih bilik mana yang akan aku gunakan, perkiraan waktu 1 menit. Setelah itu aku masuk dan membuka celanaku, perkiraan waktu 30 detik. Baru akhirnya aku dapat memusnahkan rasa mules ini dengan tenang. Total waktu yang dibutuhkan sekitar satu minggu”
“Bagus, itu adalah rencana paling brilian yang pernah kubuat!” kataku kepada diriku sendiri
Kulihat jam tanganku, tapi ternyata aku tidak punya jam tangan. Lalu aku membeli jam tangan dahulu di pasar minggu. Ketika kutanya berapa harga sebuah jam tangan, si pedagang menjawab
“45 ribu dek nggak bisa kurang, segitu juga udah rugi abang”
“Lah, ngapain jualan bang kalo rugi” jawabku
Tiba-tiba aku teringat wejangan emakku, begini katanya
“Kalo beli barang itu harus nawar. Kalo udah nawar terus nggak dikasih sama abangnya, coba pelan-pelan tinggalin si abang, nanti pasti abangnya bakalan manggil terus ngasih barangnya sesuai tawaran kita. Ampuh!”
“Hmm… aku sedikit tidak mempercayai taktik emak, tapi apa salahnya mencoba? Ya kan mak? YOLO!” pikirku
Dengan penuh percaya diri dan gagah berani, aku melancarkan taktik emak, tapi ternyata hasilnya negatif. Aku membeli jam tangan itu dengan harga 75 ribu. Alasannya sederhana, aku orangnya tidak tegaan. Kembali ke rencana, jam menunjukan pukul 12 siang lebih 3 jam, itu artinya sekarang jam 3 sore. Kumulai rencanaku dengan membaca bismillah, dilanjutkan dengan sholat Ashar dan membaca quran surah Al-Baqarah. Setelah selesai, tidak terasa waktu menunjukan pukul 6 sore. Lalu aku memutuskan untuk melanjutkan rencanaku keesokan harinya.
“Eh, tapi kan besok senen! Masuk sekolah dong! Kagak jadi kagak jadi, rencananya harus selese hari ini! Tapi kan sekarang udah maghrib”
Dan tiba-tiba, entah darimana datangnya, sebongkah ide brilian tersangkut di otakku
“AHA!”
Aku tidak kehabisan akal, langsung saja ku buat mesin waktu. Berhasil, mesin waktu itu bekerja dan aku kembali ke hari minggu pagi pukul 12 siang tepat ketika benih-benih mules tumbuh di perutku. Tekadku sudah bulat, aku harus memberantas rasa mules ini secepatnya. Tanpa basa-basi lagi, aku segera menuju jamban di kampung seberang. Perjalanan pun dimulai, dengan semangat ’45 aku berkata
“Tanjakan kan kudaki, comberan kan kusebrangi, bantar gebang pun kan kuarungi, hanya agar aku bisa berada disana denganmu, oh jambanku”
Sesampainya disana, hanya jamban reot di atas kali yang airnya mengalir tenang dan semilir angin yang berhembus pelan yang kutemukan
“Sepi sekali tempat ini. Cocok banget buat para jomblo yang pengen bunuh diri”
Lalu aku bergegas masuk dan menuntaskan permasalahan ini. Tapi coba tebak apa yang kutemukan? Sebuah papan yang tergantung di pintu jamban yang bertuliskan
“Mohon maaf, jamban ini sedang dalam proses perbaikan. Silahkan datang 5 tahun lagi”
Kesadaranku hampir hilang dibuatnya, amarahku memuncak, lalu aku mencoba menenangkan diri dengan melakukan harlem shake. Tapi hal itu percuma, lalu aku berkata
“Aku sudah datang jauh-jauh, aku sudah mengorbankan waktuku yang berharga dan aku sudah tidak tahan lagi! Tidak ada yang bisa menghentikanku!”
kuputuskan untuk tidak memperdulikan papan itu dan menerobos masuk. Setelah aku jongkok dengan tenang di salah satu bilik jamban, aku merasakan sesuatu yang janggal,seperti ada yang sedang memperhatikanku. Setelah kulihat sekitar, kutemukan suatu benda yang mencurigakan, bentuknya seperti kamera cctv merek Canon, aku tidak memperdulikannya, kupikir itu hanya perasaanku saja. Kemudian kuamati tulisan-tulisan yang berada di tembok jamban yang terbuat dari seng yang telah berkarat
“Kalau sudah selesai jangan lupa cebok dan siram kotorannya”
“Ahaha, ngapain disiram, kan kotorannya jatoh ke kali” kataku mengejek
Tapi ada sesuatu yang aneh dibawah tulisan itu, ternyata terdapat sebuah tombol, kupikir
“jangan-jangan ini tombol untuk menyiram kotoran”
dan tanpa pikir panjang aku langsung menekan tombol itu. Tiba-tiba bilik jamban yang sedang kugunakan berubah menjadi sebuah kapsul kaca dan bergerak seperti lift lalu turun ke bawah dan kemudian menyelam ke dalam kali. Aku kaget, tapi aku tetap tenang sembari memikmati pemandangan di bawah kali, tidak lupa aku memfotonya dan memasukannya ke instagram. Setelah mencapai kedalaman 13 meter, sepertinya kapsul jamban ini masuk ke dalam sebuah goa tersembunyi, kemudian kapsul jamban ini berhenti dan pintunya terbuka. Kalian tahu apa yang kulihat? Ternyata aku memasuki suatu markas rahasia dari Perkumpulan Manusia Jamban (PerManJam). Aku melihat-lihat apa yang ada di markas ini. Dan tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku
“Hey! Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan disini?”
Aku kaget dan tidak berani menoleh ke arahnya, tapi sebagai anak yang sopan aku tetap menjawab pertanyaannya
“Na.. namaku Angling Dharma, orang-orang biasa memanggilku Maman..”
“Baiklah Maman, tenanglah, aku tidak akan menyakitimu. Bagaimana ceritanya kamu bisa sampai disini Maman? Apakah kamu menggunakan jamban yang di atas? Jamban itu kan sudah sejak lama tidak digunakan oleh orang-orang, sekarang mereka lebih memilih membangun toilet mereka sendiri di rumahnya. Apakah kamu kesini untuk bergabung dengan kami?”
“Hah, emm, aku bisa sampai disini karena aku tidak tau apa yang terjadi dan aku tidak ingin bergabung dengan kalian! Huaaa kembalikan aku kepada ibuku!”
“Tidak, itu pasti tidak mungkin. Dengarkan aku baik-baik Maman, semua orang punya takdir mereka masing-masing. Dan kamu, kamu ditakdirkan untuk bergabung dengan kami dan membantu kami mengembalikan kejayaan kaum kami yang telah lama terpuruk. Camkan hal itu baik-baik Maman, camkan!”
“Tidak! Omong kosong! Aku saja tidak tau siapa kalian! Dan kalian terlihat mengerikan! Bahkan lebih mengerikan dariku!”
Tiba-tiba muncul seorang professor tua yang keluar dari suatu lorong gelap
“Tenang anak muda, Saya akan menjelaskan semuanya kepadamu. Perkenalkan, namaku Prof. Kun, mantan dosen UI”
Aku mencoba tenang dan mendengarkan penjelasan kakek tua itu
“Di zaman kehancuran seperti sekarang ini, semua orang sudah mulai sombong. Mereka sudah tidak mau lagi menggunakan jamban. Menurut mereka jamban itu menjijikan. Hal itu menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh kami, para manusia jamban melemah. Manusia yang buang air besar di jamban merupakan sumber energi utama kami, bau dari kotoran mereka membangkitkan senyawa-senyawa yang menempel di tubuh kami. Maka dari itu, sekarang kaum kami sedang sekarat dan hampir punah. Kami membutuhkan bantuan seorang manusia untuk membujuk orang-orang agar mereka mau membuang kotoran mereka di jamban kembali. Semua itu agar kami dapat bertahan hidup. Tolonglah kami wahai anak muda, kumohon”
Mendengar penjelasan kakek tua itu aku menjadi sedih dan merasakan apa yang mereka rasakan. Tapi aku masih belum bisa menganggap segala hal yang rumit ini masuk akal. Lalu professor itu melanjutkan ceritanya
“Dahulu kala, kami adalah manusia, sama seperti kalian.Tapi suatu hari, terjadi suatu peristiwa yang tidak akan pernah bisa kami lupakan, sampai kapan pun tak akan bisa kami lupakan, kami berjanji tidak akan, dan itu pasti!"
“Oke… Memangnya apa yang terjadi?”
“Saat itu, kaum kami sedang melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa. Lalu tiba-tiba di sore hari yang tenang terjadi hujan yang sangat lebat. Hujan itu turun setiap hari dan berlangsung sangat lama. Tapi anehnya, hujan itu hanya terjadi di sore hari. Kaum kami mempunyai kebiasaan untuk buang air besar di jamban saat sore hari di kala hujan. Jadi setiap hari kami berbondong-bondong menuju pusat kota untuk melakukan kebiasaan itu bersama-sama. Kota kami mempunyai jamban terbesar di dunia dan hal itu merupakan salah satu kebanggan kota kami. Hujan itu bertambah deras dari hari ke hari. Dan pada suatu hari, air kali meluap dan membanjiri seluruh kota. Kotoran-kotoran yang baru dibuang pun ikut membanjiri kota dan bergelimpangan di semua tempat. Orang-orang terkena serangan kotoran-kotoran itu, lalu terjadilah kejadian yang tidak pernah kaum kami perkirakan. Jika kulit kami terkena kotoran-kotoran itu, senyawa yang ada di kulit kami menanggapi rangsangannya. Kotoran-kotoran itu akan diserap oleh kulit kami. Karena diserapnya kotoran tersebut, kami menjadi memiliki kemampuan yang luar biasa. Dengan energi yang kami serap dari kotoran itu,kami dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Kaum kami semakin hebat dan jaya karena kekuatan yang kami miliki. Tapi semua itu tidak bertahan lama, ternyata kekuatan itu mempunyai efek samping. Efek sampingnya kami menjadi berketergantungan terhadap kotoran, jika tubuh kami kekurangan kotoran maka kulit kami akan berubah menjadi kuning seperti kotoran. Dan salah satu hal yang paling mengerikan adalah… kami tidak dapat membuang air besar lagi! Karena kami tidak dapat membuang air besar, kami menjadi kekurangan kotoran dan kulit kami menguning. Semenjak itu orang-orang menjadi jijik jika melihat kami. Dan kaum kami pun terkucilkan. Kejayaan yang dulu kami miliki kini telah hilang. Dan setelah berabad-abad lamanya dikucilkan, sebagian dari kami tidak dapat bertahan hidup, mereka kehabisan energi karena tidak mendapatkan asupan kotoran yang cukup. Dan sekarang hanya sedikit dari kaum kami yang tersisa. Kami mencoba bertahan hidup walaupun kami tahu bahwa tidak ada seorang pun yang akan membantu kami dan pada akhirnya kami akan mati juga”
“Itu… itu… cerita yang sangat menyedihkan…” tanggapku
“Jadi, bagaimana? Maukah kamu membantu kami bertahan hidup dan mengembalikan kejayaan kaum kami?” balas professor
“Tidak. Aku ingin pulang. Dimana pintu keluarnya? Oh itu dia. Baiklah selamat tinggal!”
lalu aku melenggang pergi menuju tanda Exit di ujung lorong. Dan akhirnya aku selamat sampai di rumah. TAMAT
“Oh iya, aku lupa kalau tadi aku tidak sempat buang air besar. ADUH MULES!!!”
dan kemudian aku buang air besar di celana. BENERAN TAMAT.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Pukul 4 Sore
Oleh Adreanna Mazaya (XI IPA 1)

Biru, langit hari ini begitu biru dengan sedikit sapuan awan putih menghiasinya. Aku berbaring dirumput hijau yang mulai mengering karena cuaca bulan Juni. Naungan pohon akasia yang sejuk menyelamatkan aku dari teriknya matahari sore. Disinilah aku, di taman kecil dibelakang sebuah sekolah dasar. Sebenarnya taman ini milik sekolah, tapi sejak 5 tahun lalu taman ini dibuka untuk umum. Taman kecil ini penuh dengan pohon-pohon dan semak-semak yang indah, juga ada beberapa bangku taman tempat duduk-duduk. Disaat pagi biasanya para ibu-ibu senam pagi disini dan saat sore biasanya dipenuhi kakek-kakek bermain catur sambil minum kopi. Tapi anak-anak daerah ini sendiri jarang berkunjung ke taman ini, maklum didekat sini juga ada lapangan dan tempat permainan untuk anak-anak. Taman kecil ini sendiri khusus dibuat untuk ruang hijau.
Teriknya matahari perlahan mulai memudar seiring berjalannya cahaya sinar kearah barat. Udara perlahan menyejuk dan kulihat beberapa kakek sudah berpamitan. Kulihat jam ditangan kiriku, sudah pukul 4 lewat 40 sore. Dimana dia? Apa dia terlambat?
“Hai.” Sapa suara yang familiar namun anehnya juga asing.
Terlihat sesosok laki-laki berkulit putih dengan mata besar dan kuping yang besar juga. Perawakannya akan membuat siapa pun teringat dengan anjing Chihuahua berbulu putih. Tapi sungguh matanya yang besar adalah fitur paling menarik didalam dirinya. Matanya selalu berbinar dan mengundang simpati siapapun yang bertatap dengannya.
“Hai.” Sapaku balik.
Aku selalu bertemu dengannya setiap hari Kamis pukul 4 sore di taman ini. Tapi baru 3 bulan yang lalu aku benar-benar mengenalnya. Aku tau dia adalah tetanggaku dan aku sering melihatnya menutup pagar rumahnya saat mau berangkat sekolah, tapi sungguh, aku tidak terlalu peduli untuk mengenalnya lebih jauh. Aku hanya tau dia dipanggil dengan nama Arna, yang baru-baru ini aku ketahui berasal dari nama depannya, Agharna.
Agharna atau biasa dipanggil Arna pertama kali menyapaku di taman pada hari Kamis akhir bulan Maret. Dia menyapaku selain karena dia tau aku tetangganya, juga karena dia tertarik dengan buku yang kubaca, buku kumpulan puisi-puisi dari sekolahku. Kami mengobrol tiada habis, tentang sekolahku, sekolahnya, keluargaku, keluarganya, dan tentang dunia. Dan sejak saat itu, kami secara tidak langsung membuat janji selalu bertemu di taman pada hari Kamis pukul 4 sore.
Arna sendiri berumur sama denganku, 16 tahun. Orangtuanya baru pindah ke Indonesia 7 tahun lalu setelah lama tinggal di Amerika. Bahkan Kakaknya Arna kuliah di Amerika. Untuk Arna sendiri, dia bersekolah disebuah SMA swasta berprestasi. Tapi beda dengaku, dia sudah kelas 2 karena saat SMP dia mengikuti program aksel. Arna suka membaca puisi dan bermain basket, yang sampai saat ini masih membingungkan aku bagaimana dia mempunyai tenaga untuk bermain basket dengan tubuh kurus cekingnya itu.
Sedangkan namaku Sylva, aku masih kelas 1 di SMA negeri dekat rumahku. Rambutku panjang sebahu namun lebih sering aku ikat karena gerah. Kulitku sawo matang, tidak seperti Arna yang putih. Dan diwaktu luang, aku sering pergi ke taman dan berbaring dirumput. Tidak seperti perempuan-perempuan lainnya, aku suka berada diluar ruangan. Aku suka menyerap cahaya matahari dan mencoba berfotosintesis seperti tumbuhan, yang aku akui sia-sia karena manusia tidak bisa berfotosintesis. Tapi apa yang lebih menyenangkan daripada berbaring dibawah pohon akasia yang sejuk?
“Sudah lama?” Tanya Arna padaku.
“Hmm… dari jam 4 sore tepat.” Jawabku.
“Wah sangat tepat waktu.” Kata Arna sambil tersenyum.
Aku perhatikan, Arna masih memakai baju sekolah dan rambutnya acak-acakan. Dan aku langsung menebak dia baru pulang sekolah dan langsung ke taman tanpa mampir kerumah.
“Kamu baru pulang sekolah?” Tanyaku, tentu saja ini pertanyaan basa-basi karena aku tau jawabannya adalah iya.
“Iya. Tadi ada tambahan dulu disekolah.”
“Hmm…” Aku bergumam menimpali.
“Jadi apa saja yang terjadi seminggu ini? “ Tanya Arna.
Aku sudah menunggu-nunggu pertanyaan itu. Lalu aku bercerita tentang banyak hal, tentang ibuku yang mencoba resep makanan perancis yang hasilnya makanan aneh beraroma bawang, tentang temanku Rita yang mengikuti klub pecinta alam dan akhir pekan lalu mendaki gunung, dan juga tentang anjingku yang kemarin tidur seenaknya dikasurku. Aku selalu merasa Arna adalah seorang kawan lama yang pernah kutemui, tapi pada saat yang sama Arna adalah orang asing yang tidak kukenal.
Lalu Arna bercerita tentang kakaknya yang akan pulang setelah ujian semester dan betapa Arna merindukannya, tentang gurunya yang memintanya mengikuti olimpiade sains yang dengan entengnya dia tolak.
“Na kenapa sih kamu tolak menawaran guru kamu? Itu kan kesempatan bagus!” Kataku iri.
“Kamu kan tau Syl kalo aku tidak suka sains, mau seberapa pintarnya aku dalam sains aku tidak akan benar-benar mencintainya.”
“Seperti kamu mencintai puisi?”
“Ya! Benar sekali!” Sahut Arna dengan mata berbinar-binar.
“Aku heran, kamu suka puisi tapi puisi-puisimu buatanmu jelek. Harusnya kan karena kamu sering membaca puisi, puisi kamu jadi bagus.” Kataku sinis.
“Urrgh… perkataanmu sangat menohok Syl.” Kata Arna dengan senyum kecut.
Setelah hening sesaat Arna berkata lagi sambil menatap matahari yang perlahan tenggelam ke barat.
“Karena kadang cinta itu tidak perlu terbalaskan Syl. Dan kita, para manusia mempunyai emosi, mempunyai cinta yang tidak dapat dilepaskan dari diri kita, dari jiwa kita. Sungguh jika kita tidak memiliki perasaan, kita tak lebih dari benda.”
Lalu Arna menoleh padaku, seolah mengajakku berargumen.
“Jadi menurutmu cinta itu penting? Kita bisa hidup tanpa cinta, dan konsep cintamu ini… Absurd dan tidak masuk akal. Benda pasti diam, dan kita bergerak kan?” Jawabku padanya.
“Apalah hidup kalau kamu tidak bisa mencintai, hidup seperti robot berkeliaran dengan jadwal dikepala mereka.” Kata Arna balik padaku.
“Cinta itu bukan untuk hidup, kita bisa hidup tanpa cinta. Yang aku tau kebutuhan primer itu pangan, sandang, papan. Bukan cinta, pangan, sandang, papan. Bahkan kebutuhan sekunder tidak terdapat cinta!”
Arna tertawa mendengar pernyataanku.
“Hahaha, tapi itu kebutuhan untuk bertahan hidup. Bukan untuk hidup itu sendiri Syl. Hahaha. Yang aku maksud adalah kebutuhan untuk menikmati hidup sepenuhnya.” Kata Arna sambil tertawa.
“Itu juga merupakan konsep yang absurd untuk aku! Menikmati hidup sepenuhnya atau slogan “Hidup Untuk Hari Ini” itu sangat aneh. Bagaimana kita bisa hidup hanya untuk hari ini? Momen-momen tertentu akan menentukan jalan hidup kita selanjutnya, dan slogan-slogan bodoh itu seakan berkata kita tidak perlu bertanggung jawab atas perbuatan kita. Apa kamu mau hidup enak hari ini tapi kesulitan besok?”
“Jadi kamu adalah salah satu orang yang percaya dengan slogan “Bersakit-sakit Dahulu, Bersenang-senang Kemudian”?” Tanya Arna.
“Iya!” Seruku.
“Jadi apa kamu sudah bersenang-senang?”
“Yah, entahlah… Mungkin sudah, tapi aku tidak menyadarinya.” Jawabku ragu.
“Beda denganmu, aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku untuk sesuatu yang jelas tidak akan kusuka. Aku tidak mau mengingat masa laluku dan menyesal akan keputusan yang kubuat dan tidak kubuat.”
“Itu mustahil. Kamu tetap akan menyesal juga apapun yang terjadi. Ah tapi itu sebenarnya tergantung pada pola pikir orang yang bersangkutan juga sih.”
Matahari perlahan dilahap oleh daratan dan siluet-siluet rumah. Dan taman makin sepi.
“Sudah mulai gelap.” Kataku lebih pada diri sendiri
“Apa itu isyarat minta diantar pulang?” Arna bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Hehehe tidak kok, lagipula rumahku dekat.” Kataku terkekeh.
“Kalau begitu sampai jumpa kamis depan pukul 4 sore?” Tanya Arna sambil memakai helm motornya.
“Iya, sampi jumpa kamis depan pukul 4 sore.” Kataku sambil melambai padanya.

***
Hari ini hari Kamis. Entah mengapa aku sudah tidak sabar menunggu pukul 4 sore. Aku ingin berbicara lagi dengan Arna. Konsepnya tentang cinta memang menggangguku, namun hari ini aku tidak mau berargumen soal itu lagi dengannya.
Pukul 3.45 sore.
Aku sudah berada di depan taman, dan aku tau kemungkinan besar dia belum datang. Tapi  ternyata aku salah, dia sudah datang. Arna masih memakai baju sekolahnya, duduk meringkuk dibawah pohon akasia favorit kami. Dia menoleh melihatku, lalu melambai padaku.
“Hai.” Sapaku padanya.
“Hai.” Sapanya balik.
“Tumben kamu cepat sekali datang.” Kataku.
“Yah, begitulah.” Kata Arna sambil tersenyum.
Aku duduk disampingnya dan bertanya padanya.
“Na, aku ingin bertanya, kamu ingin jadi apa dimasa depan?”
“Hmm, entahlah. Mungkin aku akan melakukan sesuatu yang hebat.”
“Hal apa?” Tanyaku penasaran.
“Aku masih memikirkan itu.” Jawab Arna terkekeh.
 “Hmm, apa aku aneh jika keinginanku dimasa depan hanya jadi orang yang berguna?”
“Keingingan yang suci, namun sedikit terlalu realistis dengan sirat-sirat kepesimisan.” Kata Arna dengan gaya sok menganalisa.
“Habis hanya itu yang bisa kupikirkan! Aku hanya ingin membantu orang-orang, dan membuat dunia yang sudah memburuk ini menjadi lebih baik.”
“Jadi menurutmu dunia ini buruk? Tapi baru beberapa waktu lalu kamu bilang dunia ini tempat yang indah.” Ejek Arna padaku.
“Aku bilang dunia ini tempat yang indah karena jujur saja aku tidak pernah kedunia yang lain kan? Tapi dunia ini indah dengan segala keburukannya.” Kataku mantap.
“Maksudmu?” Tanya Arna dengan ekspresi bingung.
“Dunia ini memang indah dan buruk disaat yang sama. Seperti adanya kecacatan dalam sebuah produk buatan tangan. Kesempurnaan kadang membosankan, justru hal-hal yang tidak sempurna yang menjadikan kita unik dan berbeda. Entah dalam arti buruk atau baik.”
“Lalu kenapa kamu ingin memperbaiki dunia yang sempurna dalam ketidaksempurnaannya ini?”
“Yah, karena menurutku dunia ini menjurus kearah yang lebih buruk dan buruk tiap waktu. Dan aku ingin mengembalikan semuanya, aku tau ini tidak mungkin. Tapi setidaknya aku ingin memperlambat proses menuju keburukan.”
“Jadi alasanmu ingin memperbaiki dunia ini untuk menyeimbangkan keadaan?” Tanya Arna sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Ya kurang lebih begitu.” Kataku datar.
“Itu cukup ambisius dan tidak pesimis. Tidak seperti dirimu.” Kata Arna sambil tersenyum.
“Aku sudah mendapat panggilan jiwaku dan aku sudah menetapkan hatiku.”
“Dan kembalilah Sylva yang keras kepala dan berhati keras.” Kata Arna terkekeh.
Aku menatapnya sinis.
“Tapi aku tau kamu akan membuat dunia sedikit lebih baik, sedikit lebih ramah. Kadang hanya perlu satu orang untuk menggerakkan seluruh massa.” Kata Arna buru-buru setelah mendapat tatapan mautku.
“Bagiku tidak masalah jadi apa nantinya kita, kita semua akan mengambil peran di lingkaran kehidupan. Tapi aku selalu bermimpi bisa melakukan sesuatu yang hebat!” Kata Arna menyambung kalimatnya tadi. Matanya berbinar-binar.
“Kenapa kamu begitu ingin melakukan sesuatu yang hebat sih?” Kataku sinis.
“Karena Sylva yang sinis, aku ingin dikenang semua orang.” Kata Arna dengan mata yang makin berbinar-binar.
“Karena bagiku itulah yang penting, aku ingin tetap hidup bahkan setelah kematianku. Aku tidak ingin hanya hidup dan mati tanpa berbuat sesuatu yang menakjubkan! Karena sungguh, dunia ini butuh sedikit hiburan!” Kata Arna menyambung kalimatnya.
“Kamu ingin sisa dari kenanganmu tetap nyata dihati orang-orang?” Tanyaku padanya.
“Yah kurang lebih begitu.” Jawab Arna dengan gaya yang sama denganku beberapa menit yang lalu.
“Bukankah itu agak jahat. Bagaimana orang-orang yang menyayangimu dan berharap bisa melupakanmu karena kamu telah tiada? Karena nyatanya kenangan darimu bagaimana mereka bisa melupakanmu dan merelakanmu?”
“Merelakan bukan berarti melupakan. Kenangan manis akan jadi kenangan manis. Dan tidak ada yang bisa merubahnya.”
“Kamu hanya jadi orang sok tau.” Cibirku padanya.
“Mungkin aku memang sok tau.” Kata Arna sambil tersenyum.
Kami kembali berbincang-bincang lagi hingga waktu menunjukan pukul 5.50. Dan seperti biasa saat berpisah kami selalu mengatakan,
“Sampai jumpa kamis depan pukul 4 sore.”

***
Hari ini adalah hari terakhir sekolah. Tanpa terasa sudah awal bulan Juli dan liburan panjang sudah menanti para pelajar dengan otak yang sudah lelah karena informasi berlebih yang harus diserap tiap harinya. Betapa senangnya hatiku, terutama karena hari ini hari kamis. Hari aku akan bertemu dengannya, dengan Arna.
Aku tiba terlambat di taman, pukul 4 lewat 45 menit. Aku mencari sosok Arna di taman, namun aku tidak menemukan apa-apa. Alhasil aku duduk dibawah pohon akasia dan menunggunya.
Sudah pukul 5.40 namun Arna tidak datang juga. Arna selalu datang dan meskipun sakit dia akan tetap datang untuk memberitahuku. Bodohnya lagi kami tidak pernah bertukar nomor telepon. Itu merupakan semacam bagian dari perjanjian kami juga, kami tidak saling mengenal selain pada hari Kamis pukul 4 sore. Kami hanya orang asing yang saling berbicara, itulah kira-kira perjanjian kami. Karena aku maupun Arna tidak ingin lebih dari sekadar kawan berbincang sore di hari Kamis.
Matahari semakin menjorok ke barat. Aku menyerah dan memutuskan untuk pulang. Namun saat itu aku melihat Arna.
“Maaf aku terlambat.” Adalah kata pertama yang keluar dari mulut Arna.
“Terlambat yang keterlaluan.” Ejekku padanya.
“Haha.”
Hening panjang diantara kami. Dan aku bersumpah aku bisa membayangkan oksigen melayang diantar kami.
“Aku akan pindah rumah akhir pekan ini.” Katanya tiba-tiba.
“Oh. Kamu pindah kemana?”
“Ke Amerika.” Jawabnya singkat.
Aku tertegun. Ini berarti kami tidak bisa bertemu lagi?
“Maafkan aku.” Katanya dengan mata sedih padaku.
Aku terlalu kaget untuk berkata apa-apa. Ini juga berarti aku akan kehilangan dia? Bukan berarti aku punya perasaan tertentu padanya. Hanya saja kami mempunyai suatu hubungan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Aku tidak pernah mencintainya atau membayangkan dia sebagai kekasihku. Kami hanya teman berbincang. Tapi selama ini hanya dia yang mengerti perkataanku dan bisa menimpaliku dengan idenya yang berbeda namun tetap menyenangkan untuk dibahas. Seperti yang aku katakan, Arna familir namun asing. Mungkin dimasa lalu kami pernah mengenal atau sesuatu, aku tidak terlalu mengerti dan peduli.
“Oke, baiklah. Semoga sukses?” Kataku padanya. Lagipula apalagi yang bisa kukatakan?
“Kamu akan tetap mengingatku bukan?” Kata Arna dengan senyum mengejek.
“Jangan berharap terlalu banyak.” Balasku padanya.
Dan begitulah akhir dari pertemuan kami di hari Kamis pukul 4 sore. Ditutup dengan kepergiannya ke negeri Paman Sam dan matahari terbenam. Aku tau pasti orang-orang berpikir bahwa pertemuanku dengan Agharna atau yang biasa dipanggil Arna itu adalah hal yang romantis. Bahwa kami seharusnya bersama, atau aku seharusnya meminta nomor teleponnya, hal-hal yang ada di dalam novel romantis. Tapi tidak. Kami hanya yang kebetulan bertemu dan kebetulan juga berbincang. Aku percaya bahwa takdir mempertemukan kami untuk suatu hal, dan itu untuk belajar lebih jauh tentang kehidupan.
Aku mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan dengannya. Tapi Arna justru memelukku dan berterima kasih padaku. Pelukan perpisahan itu berlangsung singkat. Kami berjalan ke jalan raya sembari mengobrol-ngobrol.
“Jadi sampai jumpa kamis selanjutnya pukul 4 sore?” Tanya padaku sambil memakai helm motornya.
Aku tersenyum dan membalas pertanyaannya.
“Ya kamis selanjutnya pukul 4 sore.”
Meskipun menyedihkan melihatnya pergi dengan motor putihnya untuk terakhir kalinya. Aku tau dia tidak akan melupakan aku, dan aku tidak akan melupakan dia. Karena kami tetap terikat dengan perjanjian “Kamis Pukul 4 Sore”.
Matahari mulai terlahap daratan dan siluet-siluet rumah. Pohon akasia masih sama, dan rumput juga masih sama seperti saat aku bertemu dengan Arna. Sekarang taman itu sedikit berbeda tanpa kehadiaran Arna lagi tiap hari kamis. Angin malam mulai bertiup saat aku melambaikan tangan padanya untuk terakhir kalinya dihari kamis sore. Dedaunan seakan juga melambaikan tangan akan kepergian Arna.
Aku berbalik dan berjalan menuju rumahku diujung jalan. Pertemuanku dengan Arna terbilang singkat, tapi meski begitu penuh dengan makna. Aku buka pintu rumahku dan melepaskan sepatuku di teras depan rumah. Aku duduk di ruang depan dan memikirkan tentang Arna. Tentang Kamis pukul 4 sore, tentang percakapan kami.
Dia memang bukan siapa-siapa bagiku dan aku bukan siapa-siapa baginya. Kami hanya dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir.

--SELESAI--


Yah udah selese.
Beh gokil kan gokil? Kalo misalnya dibandingin antara dua tulisan itu udah jelas banget kan siapa yang menang? Siapa? Iyak, bener banget! Siapa lagi kalo bukan gu...adre. Iya emang tulisan Adre yang lebih bagus -_-. Tapi gua gak terima! Padahal kan adre nulis tulisan itu minta diajarin dulu sama gua! Nggak tanggung-tanggung! Dia minta diajarin ngetik! Coba bayangin!. Gadeng boong. Iya gua ngaku kalah ampun... Tapi ini kan blog gua! Jadi suka-suka gua lah! Yang menang gua bodo!



Wassalam, Sylva dan Arna *cailah*



(Ceritanya diatas ada tanda tangan gua) (Lah ini postingan blog apa proposal?)


0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram